Andi The
Blues
“Like oak trees… ♫,
…leaves and…the root.♫
Sadness… tears”
Tak terhitung berapa kali ia memutar lagu blues itu.
Memang janggal, sepeninggal keluarganya yang mati, karena tikaman pisau dan
peluru-peluru 3 ekor perampok, Andi jadi terobsesi akan lagu blues yang tak ku
ketahui judul dan penyanyinya itu, ya, tapi aku tau kalau itu lagu blues dari melodi-melodi
gitar dan beat nya, karena dulu almarhum
ayahku juga seorang pecinta musik blues. Tapi ini lain, aku lebih suka
menggunakan kata “kegilaan” daripada “kesukaan”, atas apa yang dilakukan Andi selama
ini, ia seperti kecanduan, seakan-akan
ia tak ingin berhenti menyimak lantunan-lantunan dan melodi-melodi gitar lagu
blues tersebut. Aku baru menemui orang seperti Andi, aneh, fikirku.
Aku tak terlalu
mengenal Andi, yang aku tau, ia seorang pemuda yang cuek, sempat aku menegur
sapa kepada nya, tapi dibanding membalas sapaan yang ku ucapkan, ia lebih
memilih untuk terus berjalan, melewatiku, tanpa sedetikpun memandangku, aku seperti
dianggap angin olehnya. Ya, itu saja yang aku tau, karena aku baru pindah ke
desa ini dua minggu yang lalu, 2 hari sebelum insiden berdarah itu terjadi.
Rumahku tepat berada disebelah rumah Andi, hanya dibatasi oleh sebidang tanah
kosong dan jajaran pagar beton putih yang kusam dan berlumut.
Irama-irama lagu
blues itu kembali terdengar, kali ini, ku beranikan diri untuk menengoknya,
untuk melihat keadaannya yang semakin hari semakin aneh, bagaimana tidak aneh? Sudah
7 hari ia tidak mematikan lagu itu, ditambah lagi, kemarin aku melihat ia
sedang duduk diteras rumahnya, dengan tatapan kosong, dengan kelopak mata yang
menghitam dan rambut acak-acakan, dan seperti biasa, sembari mendengarkan lagu
blues asing itu. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, salamku pun ia
hiraukan. Setelah mengumpulkan keberanian, kontan ku ketuk pintu rumahnya, tak ada
jawaban, pintu nya pun terkunci. Dari sana, rasa penasaranku pun terus
mejadi-jadi, tak kuasa menahan, aku pun menuju ke belakang rumahnya, siapa tahu
pintu belakang tidak dikunci. Namun, sebelum sampai ke pintu belakang suasana
aneh mulai terasa.
Dirumah bagian
itulah lagu blues asing itu paling jelas terdengar, dan sial, dibagian rumah
itu pula, bau aneh tercium olehku, ini seperti bau bangkai!.
Di depan aku
melihat ada jendela berukuran sedang, langsung aku mendekati jendela itu,
berharap bisa melihat ke dalam rumah dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi
dengan Andi, namun sayang, jendela itu tertutup gorden coklat, tanpa celah yang
bisa ku intip. Disana keteguhan niat ku untuk menengok nya mulai goyah, tergantikan
dengan rasa penasaran yang membumbung hingga menyentuh langit-langit di otak
ku. Tanpa pikir panjang ku panjat jendela itu berharap bisa melihat sesuatu dibalik
ventilasi udara.
Aku berhasil
memanjat dan mengintip, namun tak ada sesuatu yang berarti yang ku lihat, hanya
langit-langit ruangan dengan tembok berwarna hijau. Sempat aku mengutuk diriku
akan ‘keboncelan’ ku sendiri, namun aku pantang menyerah. Ku coba tuk mengintip
sembari lompat untuk mendapat pemandangan yang lebih baik, dan juga mengobati
rasa penasaran ku yang meracun.
Setelah lompat, sontak
aku terjatuh, aku berhasil melihat ke dalam, namun, entah mengapa, dengkul ku tiba-tiba lemas. Ya entah mengapa, karena aku sebenarnya tak ingin
mengingat-ingatnya. Karena, dari situ lah aku sadar, anggapan-anggapanku
tentangnya selama ini adalah nol besar, juga aku tahu alasan ia tak mematikan
atau mengganti lagu itu, tapi aku tak tahu mengapa ia memilih lagu blues itu
untuk menemani nya pergi. Ya sungguh, ia telah pergi. Entah siapa atau apa yang
ku temui kemarin, yang jelas Andi sudah mati jauh sebelum hari kemarin.
Kepala Andi yang tergantung pada seutas
tali tambang, dengan leher sebagai penopang, membusuk biru di dalam ruangan
hijau ditemani lagu blues asing yang terulang-ulang itu. Ya, Itulah semua
yang terekam dalam otak malang ku ini.
Bayu Baharul
1 Juni 2013
Bayu Baharul
1 Juni 2013