Sekedar share cerpen luar yang disadur ke bahasa indonesia,
iseng-iseng saya lagi baca kumpulan cerpen-cerpen luar dan nemu cerpen satu ini
yang menurut saya punya konflik yang menarik dilanjutkan dengan akhir yang
menggelitik. Kemelut hati dan kegelisahan seorang tukang cukur yang merupakan
anggota revolusioner di Kolombia (pemberontak) yang didatangi oleh seorang
kapten dari kubu lawan. Kapten itu datang bukan ingin membunuhnya, melainkan
untuk mencukur janggutnya yang berumur empat hari.
Tukang Cukur dan Algojo
Oleh Hernando Tellez
Ia tak berkata apa‑apa ketika
masuk. Saat itu aku sedang mengasah pisau‑pisau cukur
terbaikku pada kulit pengasah. Ketika mengenalinya aku mulai gemetar.
Tapi ia tidak memperhatikan. Untuk menyembunyikan perasaanku, aku meneruskan
mengasah sebilah pisau. Kemudian aku tes pada daging di ibu jariku lalu
mengarahkannya ke cahaya.
Saat itu ia telah melepas ikat pinggang bertahtakan peluru
di mana sarung pistolnya tergantung. Lalu disangkutkannya pada sangkutan yang
tersedia di dinding dan meletakkan topi tentaranya pula di atasnya. Kemudian ia
pun berbalik ke arahku sambil mengendorkan dasinya dan berkata, “Panas sekali.
Tolong cukur aku”. Iapun duduk di kursi.
Kuperhatikan ia mempunyai janggut berumur sekitar empat
hari. Empat hari yang dihabiskan dalam ekspedisi terbarunya untuk memburu
pejuang-pejuang kami. Wajahnya kelihatan memerah karena terbakar matahari.
Dengan cermat aku mulai menyiapkan sabun. Kuiris beberapa potongan kecil‑kecil dan kumasukkan ke dalam mangkok kemudian mencampurnya dengan
sedikit air hangat lalu mengaduknya dengan setangkai kuas. Busapun segera
muncul. “Para anggota regu yang lain agaknya juga sudah jenggotan
sebanyak ini”. Aku meneruskan mengaduk busa.
“Tapi kerja kami tidak sia‑sia. Kami
menangkap banyak. Kami bawa pulang sebagian yang sudah mati dan lainnya yang
masih hidup. Tapi sebentar lagi mereka semua juga akan mampus.”
“Berapa banyak yang Anda tangkap?” tanyaku.
“Empat belas. Kami harus masuk agak jauh ke dalam hutan
untuk menemukan mereka. Tapi kami akan mendapatkan mereka semua. Tak seorangpun
dari mereka yang keluar akan hidup, tak seorangpun.”
Ia menyandarkan punggungnya ke kursi ketika melihatku
memegang kuas pemoles busa. Aku masih harus menyelimutinya. Tak dapat disangkal
aku memang bingung. Kukeluarkan selimut dari laci dan memasangnya di leher
tamuku. Agaknya ia tidak akan berhenti bicara. Mungkin ia berpikir aku
bersimpati pada pihaknya.
“Penduduk kota ini seharusnya sudah mendapat pelajaran dari
apa yang kami lakukan tempo hari,” katanya.
“Ya,” jawabku sambil mengikat simpul di lehernya yang hitam
dan berkeringat.
“Pertunjukkan yang menarik, kan?”
“Sangat bagus,” timpalku sambil beralih kembali kepada kuas
tadi. Pria itu memejamkan matanya dalam posisi kelelahan dan duduk menanti
usapan busa sabun yang dingin. Belum pernah aku berada sedekat ini dengannya.
Pada hari itu, ketika ia memerintahkan seluruh penduduk kota berbaris di
halaman belakang sekolah untuk menyaksikan empat orang pemberontak yang
digantung di sana, aku berhadapan muka dengannya pada suatu jarak. Namun
pemandangan dari tubuh‑tubuh yang dibuntungi itu mengalihkan
perhatianku dari wajah orang yang memerintahkan itu semua, wajah yang
sebentar lagi akan berada di tanganku ini.
Sesungguhnya wajahnya tidaklah jelek. Dan jenggot yang
membuatnya tampak sedikit lebih tua dari usia sesungguhnya ini sama sekali
tidak membuatnya kelihatan buruk. Namanya adalah Torres. Kapten Torres. Seorang
yang sinting, sebab siapa lagi yang punya pikiran untuk menggantung para
pemberontak dalam keadaan bugil dan kemudian menjadikan beberapa bagian
tertentu dari tubuh mereka sebagai sasaran latihan tembak?
Aku mulai memoleskan lapisan pertama dari busa sabun. Dengan
mata terpejam ia melanjutkan, “Dengan mudah aku bisa jatuh tertidur,” katanya,
“tapi ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan sore ini.”
Aku berhenti memoles dan bertanya dengan lagak seakan‑akan tidak begitu tertarik, “Regu tembak?”
“Semacam itu, tapi sedikit lebih pelan.”
Aku melanjutkan memolesi busa di jenggotnya. Kedua tanganku
mulai gemetar lagi. Pria itu mungkin tidak tahu dan inilah keuntunganku. Namun
sesungguhnya aku lebih suka kalau dia tidak datang. Rasanya seperti banyak dari
faksi kami yang melihatnya waktu masuk tadi. Dan seorang musuh di bawah atap
seseorang bisa menimbulkan masalah.
Aku mesti mencukur jenggot itu seperti yang lainnya, dengan
penuh kecermatan dan kelembutan, seperti kepada tamu‑tamu yang
lain, berusaha keras memperhatikan agar tak satu pori‑poripun menitikkan darah. Memperhatikan secara cermat agar tumpukan
rambut yang kecil‑kecil jangan sampai membuat mata pisau
kesasar. Memastikan bahwa pada akhirnya nanti kulitnya akan bersih,
lembut, dan sehat, sehingga bila kugesekkan punggung tanganku di atasnya aku
tidak akan merasakan sehelai rambutpun.
Ya, diam‑diam aku memang seorang pemberontak, tapi
aku juga seorang tukang cukur yang cermat dan bangga akan ketepatan
profesiku. Dan jenggot berumur empat hari ini adalah tantangan yang tak
terduga.
Kuambil sebilah pisau cukur, kutarik dari sarung
pelindungnya sehingga mata pisaunya berada di luar dan memulai tugasku dari
salah satu sisi pipinya terus menurun ke bawah. Pisau cukur itu menjalankan
tugasnya dengan baik. Jenggotnya kaku dan keras, tidak terlalu panjang tapi
tebal. Sedikit demi sedikit permukaan kulitnya muncul.
Pisau cukur itu berjalan terus dan mengeluarkan suara yang
khas saat busa dan potongan rambut yang kecil‑kecil
menumpuk di sepanjang mata pisaunya. Aku berhenti sejenak membersihkannya, lalu
mengambil kulit pengasah untuk menajamkannya lagi, karena aku adalah tukang
cukur yang melakukan pekerjaan dengan cermat. Pria yang tadi terpejam itu kini
membuka matanya, menggerakkan salah satu tangannya dari bawah selimut,
merasakan bagian di wajahnya yang baru saja bersih dari busa sabun dan berkata:
“Datanglah ke sekolah hari ini pukul enam.”
“Seperti yang dulu itu?” tanyaku cemas.
“Lebih baik lagi,” jawabnya.
“Apa yang Anda rencanakan?”
“Saat ini aku belum tahu. Tapi kami akan bersenang‑senang.”
Sekali lagi ia menyandarkan punggung dan memejamkan mata‑ nya. Aku mendekatinya dengan pisau cukur teracung.
“Apa Anda punya rencana untuk menghukum mereka semua?” tanyaku
agak takut.
“Semuanya.”
Sabun di wajahnya sedang mengering. Aku harus cepat. Di
cermin aku melihat ke jalanan. Semuanya seperti biasa, toko penjual bahan
makanan dengan dua atau tiga pembeli yang ada di sana. Kemudian aku melihat
jam: pukul dua siang lebih dua puluh menit.
Pisau cukur terus berjalan ke bawah. Kali ini dari belahan
pipi yang satu lagi terus ke bawahnya. Jenggot biru yang tebal. Seharusnya
dipeliharanya saja seperti yang dilakukan oleh bebera3 a orang penyair atau
pendeta. Sangat cocok untuknya. Orang banyak tidak akan mengenali. Hal itu akan
sangat menguntungkan baginya, pikirku, sementara sedang mengerjakan bagian
leher dengan lancar. Di bagian ini pisau cukur harus dikendalikan dengan ahli
karena rambut di situ meskipun lebih lembut, tumbuh‑nya sedikit
berputar‑putar. Bulu‑bulu yang keriting. Sebuah pori‑pori bisa lecet dan menitikkan darah. Seorang tukang cukur yang baik
seperti aku ini bisa berbangga karena tidak akan membiarkan hal ini sampai
terjadi pada seorang klien. Apalagi ini klien kelas satu.
Berapa banyak dari kami yang ditembak atas perintahnya?
Berapa banyak pula dari kami yang dibuntungi atas perintahnya? Lebih baik tidak
usah memikirkannya. Torres tidak tahu kalau aku adalah musuhnya. Dia tidak
tahu, juga yang lainnya.
Ini adalah sedikit rahasia yang bocor, justru dengan
demikian aku dapat memberitahu para revolusioner tentang apa yang sedang
dikerjakan Torres di kota dan tentang apa yang direncanakannya setiap kali
melakukan safari memburu pemberontak. Namun dengan demikian juga akan sulit
sekali untuk menjelaskan bahwa aku pernah menguasainya di tanganku dan
melepaskannya dengan selamat, dalam keadaan hidup dan tercukur rapi.
Kini jenggotnya sudah hampir hilang seluruhnya. Ia kelihatan
lebih muda, tidak terlalu tampak dibebani usia dibandingkan ketika baru datang
tadi. Kukira hal ini selalu terjadi pada para pria yang mengunjungi kedai
tukang cukur. Dengan sentuhan pisau cukurku, Torres menjadi muda lagi. Ia
menjadi muda lagi karena aku adalah seorang tukang cukur yang handal, bahkan
terhandal di kota ini kalau aku boleh bilang begitu.
Sedikit busa lagi di sini, di bawah dagunya, pada jakunnya,
dan di atas pembuluh darah balik yang besar ini. Betapa panasnya! Torres pasti
berkeringat banyak seperti aku. Tapi ia tidak takut. Ia seorang pria yang
tenang, yang bahkan tidak memikirkan tentang apa yang akan dilakukannya nanti
atas para tahanan itu sore ini.
Sementara di pihak lain aku dengan pisau cukur di tanganku,
yang sedang berulang‑ulang mengerik kulit ini dan berusaha menjaga
agar darah tidak sampai keluar dari pori‑porinya,
bahkan tidak dapat berpikir jernih. Sialan dia datang ke sini segala, karena
aku seorang revolusioner dan bukan seorang pembunuh. Dan betapa mudahnya untuk
membunuhnya. Bukankah memang pantas untuknya?
Tidak! Setan tengik! Tak seorangpun layak menyebabkan orang
lain menjadi pembunuh. Apa untungnya bagimu? Tak ada. Orang‑orang lain akan mengikutinya dan terus begitu, yang pertama membunuh
yang kedua dan mereka akan mendapat giliran yang berikutnya; dan akan
berjalan terus seperti itu sampai semuanya menjadi lautan darah.
Aku bisa saja menggorok kerongkongan ini: kres! kres! Aku
takkan memberinya kesempatan untuk mengaduh dan karena kedua matanya sedang
terpejam ia takkan melihat kilauan mata pisau ini atau kilatan mataku.
Tapi aku gemetar seperti seorang pembunuh sungguhan. Dari
lehernya nanti semburan darah akan tumpah di atas selimut, kursi, di kedua
tanganku, di lantai. Aku harus menutup pintu. Dan darah itu akan mengalir
perlahan di atas lantai: hangat, tak bisa dihilangkan, tak bisa dicegah, sampai
turun ke jalan, seperti aliran anak sungai berwarna merah tua.
Aku yakin dengan satu tekanan yang kuat, satu irisan yang
dalam, tidak akan terasa sakit. Dia tidak akan menderita. Tapi apa yang akan
kulakukan terhadap tubuhnya? Ke mana aku harus menyembunyikannya? Aku nanti
juga harus pergi meninggalkan semuanya dan mengungsi sejauh‑jauhnya. Namun mereka akan terus mengejarku sampai berhasil.
“Pembunuh Kapten Torres. Ia menggorok kerongkongannya ketika
sedang mencukurnya, seorang pengecut!”
Dan di pihak lain:
“Pembalas dendam kita semua. Nama yang akan selalu dikenang
(dan di sini mereka akan menyebut namaku). Dia adalah seorang tukang cukur di
kota ini. Tak ada yang menyangka ia berpihak pada kita.”
Lalu apa artinya semua ini? Pembunuh atau pahlawan? Nasibku
tergantung pada ujung mata pisau ini. Aku dapat memutar tanganku sedikit lagi,
menekankan pisau cukur ini agak keras dan membenamkannya. Kulit itu akan
tembus seperti sutera, seperti karet atau seperti kulit pengasah. Tak ada yang
lebih lembut dibandingkan kulit manusia dan darah selalu berada di sana, siap
muncrat. Mata pisau seperti ini tidak akan gagal. Ini milikku yang terbaik.
Tapi aku tidak ingin menjadi pembunuh, tidak Tuan. Kau
datang padaku untuk cukur. Dan aku melaksanakan pekerjaanku secara terhormat.
Aku tidak mau ada darah di tanganku. Cukup busa sabun saja. Kau seorang algojo
sedangkan aku hanyalah seorang tukang cukur biasa. Tiap orang punya kedudukan
masing‑masing pada tempatnya. Ya, pada tempatnya masing‑masing.
Sekarang dagunya telah tercukur bersih dan licin. Pria itu
duduk tegak dan memandang ke cermin. Ia mengusapkan kedua belah telapak
tangannya di atas kulitnya dan merasakannya segar, seperti baru.
“Terima kasih,” katanya. Ia beranjak ke gantungan untuk
mengambil ikat pinggang, pistol, dan topinya. Aku pasti sangat pucat, bajuku
basah kuyup. Torres telah selesai merapikan timangnya, meluruskan pistol di
sarungnya dan setelah secara reflek mengelus rambutnya ke bawah, ia memakai
topinya.
Kemudian dari dompetnya ia mengeluarkan beberapa keping uang
logam untuk membayar jasa yang telah kuberikan. Selanjutnya ia melangkah menuju
ke pintu. Di pintu keluar‑masuk ia berhenti sejenak, dan sambil
berpaling kepadaku berkata:
“Mereka bilang kau akan membunuhku. Aku kemari untuk
membuktikannya. Tapi membunuh itu tidak mudah. Kau bisa pegang kata‑kataku ini.”
Dan iapun meneruskan langkahnya menuju ke jalan.
Alih bahasa oleh Syafruddin Hasani