Bapa dan Kakak

0 komentar

Sudah jam 2 pagi, tapi Amir masih anteng duduk di depan komputer nya, pandangannya fokus, lurus. Sesekali matanya bergerak seperti memburu suatu objek di layar monitornya, dengan bersamaan, tangannya yang menggenggam mouse pun bergerak, ke kiri, ke kanan, ke depan, dan ke belakang, tak menentu. Setelah itu akan terdengar suara tembakan, sesekali suara ledakan, diiringi desing-desing pesawat, juga suara orang yang berbicara lewat radio. Tetapi, diantara semua suara itu selalu ada satu suara yang paling tidak asing lagi di telinga Amir setiap pagi, ketika ia sedang begitu, itu suara ibunya.

“Amir, sudah maen game nya nak, pagi kan kamu sekola.” Suara ibunya yang lembut dari balik pintu memaksa Amir mengecilkan volume suara game-nya yang bising.

“Iya bu, tapi tanggung nih sebentar lagi, kan besok masuk jam sembilan bu!” Jawab Amir dengan setengah berteriak.

“Kamu bukannya mau kerja kelompok sama si Khopid jam tujuh?” Kata ibunya, masih dengan lembut dan dibalik pintu.

“Astagfirullah! Amir lupa, baik bu, Amir mau tidur sekarang.” Jawab Amir, panik.

“Jangan lupa baca du’a sebelum tidur”. Itulah nasihat ibunya, juga akhir dari percakapan, karena Amir tidak menjawab.

Dengan panik Amir mematikan komputer, lalu tanpa pikir ia hempaskan badannya ke kasur, tapi ia tak langsung tidur. Amir menerawang ke langit-langit kamarnya, Kenikmatannya telah habis, kenikmatan bermain game Call of Duty telah habis. Sebenarnya dari kecil Amir bercita-cita menjadi tentara, dengan bermain game tadi, setidaknya secuil dari cita-citanya menjadi kenyataan.

Amir masih menatap langit-langit, rona kenikmatan dan kepuasan saat bermain game yang tersirat di wajahnya perlahan, entah mengapa, menghilang, dan tergantikan oleh rona-rona pahit yang menyatu menjadi kesuraman di wajahnya. Kini, ia tatapi satu-satu pernak-pernik, patung mainan, poster, dan pakaian yang mengisi seluruh isi kamarnya, semuanya serba tentara. Saat itu juga mata Amir mulai berkaca-kaca, mulutnya tak bersuara, tapi bergetar, getir. Seketika teringat permintaan terakhir mendiang Bapanya.

“Mir, kamu jangan jadi tentara ya nak, Bapa tak mau kamu bernasib sama seperti Kakak mu.” Begitulah permintaan Bapa Amir saat Amir masih kecil, tepat di depan makam almarhum Kakaknya.
Kakak Amir adalah seorang perwira muda yang juga mati muda pada saat baku tembak dengan kelompok pemberontak di Aceh. Semasa hidupnya, Kakak Amir adalah seseorang yang paling Amir kagumi, ia gagah, pemberani, jago tembak, pikirnya. Nanti kalau sudah besar, ia ingin seperti Kakaknya, jadi tentara dan membela Negara.

Kini Amir tertelungkup, wajahnya tepat menempel diatas bantal, tangannya menggenggam kuat kedua sudut kain bantal seperti tertarik dan bakal sobek. Getaran di bibirnya menyebar ke seluruh tubuh, tubuh Amir bergetar, seperti marah, tapi menangis dan tak bersuara. Teringat sepulang dari pemakaman Kakak, Bapa kecelakaan. Motor yang Bapa dan Amir naiki menabrak mobil sedan. Malangnya Bapa, setelah menabrak mobil kemudian dihantam mini bus dari belakang, sedangkan Amir terpental ke trotoar lalu pingsan. Bapa Amir meninggal di perjalanan menuju rumah sakit.


Andai Bapa masih ada, ingin ia sampaikan, ingin ia curahkan betapa besar keinginan dan hasratnya tuk jadi tentara. Kini Amir hanya bisa menangis, kelulusan sudah di depan mata, sekarang ia harus sudah menentukan mau dilanjutkan kemana masa depan nya yang berharga. Memilih Kakak atau Bapa.

Tuhan itu Tak Ada

0 komentar

Tuhan itu tak ada
Kala ku pandang indah matanya

Seraya berkaca dalam satu peristiwa:

Di matamu ku tatap potret sendu diriku
Karam tersiram hujan
Sungguh malang...
Ini pertukaran pandang kan di dalam ruang
Tuhan sial tak sanggup teduhi hujan
Dalam kedua cermin nan berlian

Dan untuk ku sebuah lamunan:

Tuhan itu tak ada
Kala ku pandang indah matanya

Aku dipandang bagai bubuk rangginang, namun tetap kau indah, sumpah!

Cuma Ingin

0 komentar

Aku ingin kau ingin mati
Aku mau kau mau tau
Jerit manusia dibalik lekuk dua helai bibirmu
Demi Tuhan, aku ingin kau ingin mati
Dan bukan salahku bila itu terjadi

dari rasa kesal dan kekecewaan

Death

2 komentar

I am an obscure silence
With a timeless presence
I am beyond your science

I’ve been living for thousand years
I’ve seen million of faces with diverse colors
Eliminated them like a soundless
Calamity in the midst of darkness

Suffering is your nature, sorrow is your feature
Blood and agony squeeze on our encounter
But you won’t feel the depth of your anger
While to be tortured, with my joyful glower

I am a seraph without wings
I am the damned thing
I am the song that you can’t sing

Ditulis saat membuat cerpen The Diary of Death yang sampe sekarang belum jadi

Aku Kau

0 komentar

Aku kau, hela hembus udara,
Kosong kita buat gaduh,
gaduh bersama, gaduh mengudara
Kita sama

Aku kau tersentuh hangat kasih ibu
Mengarifi arti di balik tiap pori
Jari-jari dan tangan surgawi
Kita sama lagi

Aku kau pandang bumi langit yang sama
Biarkan menggurui aku kau, kita
Ada hasil walau kecil me-nihil
Kita sama, lagi dan lagi

Aku kau bersama menyimak makna
Di semu udara, Di hijau tanah, Di biru langit,
Bahkan di balik badan-badan yang berhimpit rumit
Kita sama kembali

Aku, kau, kita.
Bersama, sama, tapi tetap saja iri
Iri pada perbedaan, yang tak pernah kesepian.

Kita sama?

Empat Baris Tentang Pagi dan Kamu

0 komentar

Langit pagi saksi hangat senyumu, matahari pun malu
Langit pagi saksi kaku aku seperti lugu, kini, aku malu
Langit pagi pun saksi selembar kenangan sisip satu bait memori
Langit pagi entah datang kembali rangkai buku perjalanan bersampul hati

Masih tentang kamu, headline penghias topik hati hari ini
Tentang kamu, penanam bibit kenangan, entah tumbuh atau hanya membatu
Percayalah, ingin hati slalu menyiangi dalam butir hujan serta lekuk pelangi
Kukuh benderang peluk bulan dan mentari

Puisi Kukila

0 komentar

Biar ku ceritakan pada kalian tentang sebuah kisah cinta
Kisah cinta yg sangat biasa, tentang dua orang yg biasa saja
Dalam pertemuan biasa ,dengan cara yg  biasa , dan di kehidupannya yang teramat biasa. . .
Bukan tak sudi ku buat nya jadi istimewa, hanya saja aku muak pada fiksi dengan begitu cantiknya setiap putri diceritakan dalam sebuah stanza, atau penggambaran para dewa yg membuat dunia seolah tampak seperti bola kecil yang dilempar tuan pada anjingnya.
kalian berdecak kagum, ada sebagian yg merana dan lainnya larut seperti cairan basa yg disirami api, hilang begitu saja, tak terasa panasnya, tak berguna
“camkan sayang, tiada hal yang lebih baik dalam kehidupan manapun selain cinta, bahkan mungkin ketika kau mati, dalam bayangku, surga adalah tempat dimana cinta tak pernah pudar, setiap jiwa yg ada disana dibekali dengan organ tubuh bernama cinta, seperti jantung pada hidup.
Tak ada rasa lainnya, kita tak perlu menerka nerka apa yg orang lain pikirkan tentang kita, karena itu penyakit yg paling berbahaya, bukan kah begitu ?
Dalam hidup kau terlahir, jika dilahirkan oleh orang kaya raya, bonusnya ya rasa hormat dan manut mereka, beranjak dewasa kau bisa pakai uang bapa mu, hidupmu disini bisa lebih mudah, tapi itu nerakanya, kau akan teramat sangat peduli pandangan mereka terhadapmu, kau akan dibebani tentang pendidikanmu, baju yg kau pakai, pekerjaan, teman bahkan cintamu
Jika ibumu orang melarat, hidupmu akan sangat bebas, kau bisa mulai dari manapun, kau bisa sekolah jika itu maumu, mencintai siapapun, apapun tapi hanya dalam anganmu, karena bila tak jadi orang jahat mungkin butuh waktu buatmu untuk menggenggamnya ditambah bonus pandangan mereka yg memperlakukanmu seperti sampah atau bahkan lebih buruk”
Sepenggal cucuran hasil riuh debatnya dengan dunia
Kami bertemu saat itu, siang itu
Matahari teramat sangat panas samapai melunglaikanku roboh terduduk, mengeringkanku sampai ke titik inspirasi, ah hidup terasa hambar, air tak menghilangkan dahaga, gula tak berasa, benar benar kosong yg berbentuk.
Dia, berjalan menuruni tangga tepat didepanku, ada nada kecil yg dihembuskan angin saat langkahnya terhenti, seperti mencoba membisikan kesejukan, tapi apa ? mengapa ?
Tak pernah bisa kuhapus ingatan itu, walau sepertinya kubenturkan kepalaku, atau kupenggal leherku, ingatan nya ter ektrasi jadi sebuah pil, yang sangat manis terasa dan bila ku emut makin menjadi rasa manisnya, tak pernah habis, tak pernah membosankan
Tatapan yg berkata sapaan, lekuk wajah se menarik permen loli yg dilihat anak kecil kala diajak ibunya ke pasar, simpul bibir sesegar mandi di danau jernih setelah lama berjibaku dengan hutan dan baju basah dengan keringat.
Semua teramat jelas, pandanganku yg kian kabur jadi berwarna, senikmat mengisap sabu berkualitas yg kau temukan dipinggir jalan.
Gerak kian pasti, tubuh bagai botol air dingin yang tersimpan rapat dalam etalase lemari es berkaca, dengan tetesan tetesan air disekelilingnya, penuh, menyegarkan.
“Aku KUKILA
Burung yg bertengger diatas pohon tertinggi” tukasnya

Aku terdiam menahan denyut dan gagap, ingin rasanya meledak.

ditulis oleh Fajar Taufiq Nugraha