Bapa dan Kakak

Sudah jam 2 pagi, tapi Amir masih anteng duduk di depan komputer nya, pandangannya fokus, lurus. Sesekali matanya bergerak seperti memburu suatu objek di layar monitornya, dengan bersamaan, tangannya yang menggenggam mouse pun bergerak, ke kiri, ke kanan, ke depan, dan ke belakang, tak menentu. Setelah itu akan terdengar suara tembakan, sesekali suara ledakan, diiringi desing-desing pesawat, juga suara orang yang berbicara lewat radio. Tetapi, diantara semua suara itu selalu ada satu suara yang paling tidak asing lagi di telinga Amir setiap pagi, ketika ia sedang begitu, itu suara ibunya.

“Amir, sudah maen game nya nak, pagi kan kamu sekola.” Suara ibunya yang lembut dari balik pintu memaksa Amir mengecilkan volume suara game-nya yang bising.

“Iya bu, tapi tanggung nih sebentar lagi, kan besok masuk jam sembilan bu!” Jawab Amir dengan setengah berteriak.

“Kamu bukannya mau kerja kelompok sama si Khopid jam tujuh?” Kata ibunya, masih dengan lembut dan dibalik pintu.

“Astagfirullah! Amir lupa, baik bu, Amir mau tidur sekarang.” Jawab Amir, panik.

“Jangan lupa baca du’a sebelum tidur”. Itulah nasihat ibunya, juga akhir dari percakapan, karena Amir tidak menjawab.

Dengan panik Amir mematikan komputer, lalu tanpa pikir ia hempaskan badannya ke kasur, tapi ia tak langsung tidur. Amir menerawang ke langit-langit kamarnya, Kenikmatannya telah habis, kenikmatan bermain game Call of Duty telah habis. Sebenarnya dari kecil Amir bercita-cita menjadi tentara, dengan bermain game tadi, setidaknya secuil dari cita-citanya menjadi kenyataan.

Amir masih menatap langit-langit, rona kenikmatan dan kepuasan saat bermain game yang tersirat di wajahnya perlahan, entah mengapa, menghilang, dan tergantikan oleh rona-rona pahit yang menyatu menjadi kesuraman di wajahnya. Kini, ia tatapi satu-satu pernak-pernik, patung mainan, poster, dan pakaian yang mengisi seluruh isi kamarnya, semuanya serba tentara. Saat itu juga mata Amir mulai berkaca-kaca, mulutnya tak bersuara, tapi bergetar, getir. Seketika teringat permintaan terakhir mendiang Bapanya.

“Mir, kamu jangan jadi tentara ya nak, Bapa tak mau kamu bernasib sama seperti Kakak mu.” Begitulah permintaan Bapa Amir saat Amir masih kecil, tepat di depan makam almarhum Kakaknya.
Kakak Amir adalah seorang perwira muda yang juga mati muda pada saat baku tembak dengan kelompok pemberontak di Aceh. Semasa hidupnya, Kakak Amir adalah seseorang yang paling Amir kagumi, ia gagah, pemberani, jago tembak, pikirnya. Nanti kalau sudah besar, ia ingin seperti Kakaknya, jadi tentara dan membela Negara.

Kini Amir tertelungkup, wajahnya tepat menempel diatas bantal, tangannya menggenggam kuat kedua sudut kain bantal seperti tertarik dan bakal sobek. Getaran di bibirnya menyebar ke seluruh tubuh, tubuh Amir bergetar, seperti marah, tapi menangis dan tak bersuara. Teringat sepulang dari pemakaman Kakak, Bapa kecelakaan. Motor yang Bapa dan Amir naiki menabrak mobil sedan. Malangnya Bapa, setelah menabrak mobil kemudian dihantam mini bus dari belakang, sedangkan Amir terpental ke trotoar lalu pingsan. Bapa Amir meninggal di perjalanan menuju rumah sakit.


Andai Bapa masih ada, ingin ia sampaikan, ingin ia curahkan betapa besar keinginan dan hasratnya tuk jadi tentara. Kini Amir hanya bisa menangis, kelulusan sudah di depan mata, sekarang ia harus sudah menentukan mau dilanjutkan kemana masa depan nya yang berharga. Memilih Kakak atau Bapa.

0 komentar: (+add yours?)

Posting Komentar