Taman Kalbu

0 komentar

Beribu malu menerpa taman kalbu
Menjadikannya kelam menebar
Mawar yang tiada pernah merekah

Resah kian menjalar, rindu kian mengakar

Indahkah?

Jurnal 2

0 komentar

Gila, ga ada kerjaan tapi tulisan ga beres-beres, tugas ga kelar-kelar.

Kemarin malam saya baca Hujan Bulan Juni nya Pak Sapardi Djoko Damono sampai larut dan ketiduran. Habisnya asik sih. Diksi nya sederhana, isi nya pun gampang divisualisasikan di otak pembaca. Puisi-puisinya begitu hidup, dengan kata lain, mengajak pembaca berpetualang seru dalam ruang penafsiran di otak mereka. Tapi ada beberapa puisi yang, bagi saya, sukar dimengerti, walau bisa diimajinasikan dalam kepala. Misalnya puisi yang berjudul "Tengah Hari".

Puisinya bagus-bagus pokoknya (kalau ga bagus ga akan saya beli dong, atau mungkin ga akan pernah dibukukan sebelumnya -_-) cerminan dari kreatifnya imajinasi Pak Sapardi pun kontemplasi beliau yang begitu luas dan mendalam. Salah satu contoh pujangga paling berpengaruh di Indonesia.

Disini saya ingin membagikan dua puisi Pak Sapardi dari buku nya Hujan Bulan Juni

TANGAN WAKTU

selalu terulur ia lewat jendela
yang panjang dan menakutkan
selagi engkau bekerja, atau mimpi pun
tanpa berkata suatu apa

bila saja kau tanya: mau apa
berarti terlalu jauh kau sudah terbawa
sebelum sungguh menjadi sadar
bahwa sudah terlanjur terlantar

belum pernah ia minta izin
memutar jarum-jarum jam tua
yang segera tergesa-gesa saja berdetak
tanpa menoleh walau kau seru

selalu terulur ia lewat jendela
yang makin keras dalam pengalaman
mengarah padamu tambah tak tahu
memegang leher bajumu

(Damono, 1959)

AKU INGIN

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Damono, 1989)

Oiya, buku kumpulan puisi "Hujan Bulan Juni" nya Pak Sapardi Djoko Damono bisa didapat di toko buku Gramedia dengan harga Rp. 68.000

Petuah Terakhir Sang Kakek

0 komentar

Mencintalah sebelum hujan hujam tanah basah
Mengubur dirinya atau lenyap dalam sungai yang tak kenal muara

Membencilah seperti abu lupa pada nyala api dulu
Yang kukuh tak tersulut walau panas lagi merenggut

Bersabarlah bak senja yang tak berkeluh pada singkat nya masa
Yang percaya pada hari tuk melukis nya kembali

Bekerjalah seperti jantung hidupi mu dalam alunan tiada jemu
Yang detak nya tegar mengabdi walau seringkali kau khianati

Rehatlah dalam cahaya kejayaan bukan dalam ketidakpastian
Yang taringnya siap terkam tubuh lengahmu dari gelapnya waktu

Menangis dalam Egois

0 komentar

Kau menangis dalam gelap
Biar tiada yang tau, kau harap

Namun

Bagaimana bisa mataku cairkan pendar di indah matamu?

Bagaimana bisa jemariku seka kesedihan di lembut pipimu?

Bagaimana bisa pundak ku tersapa kilau hitam rambutmu?

Bagaimana bisa lidahku padamkan api di hati kecil mu?

Bagaimana bisa telingaku dimanja oleh suara merdu mu, bahkan ketika kau menangis?

Dalam gelap kau menangis
Sungguh, kau egois!

Diantara Jarak

0 komentar

Diantara jarak ku kagumi pagi
yang sabar menanti embun terjun
di tepi pucuk dedaun

Diantara jarak ku kagumi malam
yang diam-diam lukis impian
di sela sunyi temaram

Diantara jarak ku kagumi kau
yang elok nya tak sanggup ku talar
dalam diam dan gusar

Cukup gagah kah diri
Tuk mengagumi
Diantara jarak
Tanpa durasi?

Tiada Kuasa

0 komentar

Padamu tak ku taruh harapan berlebih
Namun, apa kau tau?:

Jemariku renta; tiada kuasa sentuh bayangmu
Suaraku hampa; tiada kuasa sapa dengarmu
Pandangku semu; tiada kuasa toleh parasmu

Aku bagai dikutuk menjadi batu,
Kian kelabu, kian membiru
sering aku dirajam sang waktu
yang enggan membeku
demi perjamuan antara kau dan aku

Tatkala sang Waktu berbudi kepadaku
Sudikah kau buka pintu tuk ketiadakuasaanku?
Atau...
Kuasa kah aku tuk mengetuknya?

There's a Party!

0 komentar

I'm crawling out from my peaceful darkness
Feeling so lazy and moving so slowly
There are voices calling me vigorously
Dragging my bones, my muscles, my veins
There's a party!

"Come on join man!"
I know that voice
The one of those voices, so annoying
Should I join the party?
So annoying, so annoying!

Lights beaming, music beating
As I anxiously entering
A house which is sparkling
Those people, dancing, jumping
So annoying, so annoying!

"Hey man try this wine!"
A stranger offering me a cup of wine
It's red wine... o wait, or is it blood?
I'm feeling insane as I'm holding the cup
So annoying I swear to god

I'm drinking the wine
As I'm upset but not to whine
I scrutinize those faces
Those maddening, happy faces

Before my eyes caught something so appealing

Candle? Why there's a candle in a party?
A candle that so obvious among this huddle
Lightened by the moonlight
Through a lonely skylight
That candle, this wine...

Ignition! So pleasing so pleasing!

I poured the wine into the fire

That miraculous revelation
Burnt them like bacon
Bodies were dancing and jumping in combustion
As lights beaming, music beating
O so pleasing so pleasing!

I'm crawling back toward my peaceful darkness
Feeling so lazy and moving so slowly
There's a voice calling me vigorously
As I see 'myself' sitting in the dark, sleepy and lazily
"Come on join man!"
There's a party!

Jurnal 1

0 komentar

13.00
Di perjalanan ke kampus, saya melihat tiga anak kecil bermain; loncat-loncat, terkekeh-kekeh, di tengah jalan komplek, dengan ibunya, atau entah siapa, sebagai penjaga mereka. Dulu, saya juga seperti mereka; bermain di lapangan atau di sekola tempat mama mengajar, bersama teman-teman yang sebagian tidak saya ingat lagi, lupa. Sambil dijaga mama atau disuapi, ah senangnya.

Sekarang... ah saya malas menceritakan saya yang "sekarang".

13.10
Saya beli kamus. Saya takut dicoret di tangan sama pa Budi kalau ketahuan tak bawa atau tak punya.
40.000 rupiah, habis sudah.

13.20
Ada pesan singkat dari teman sekelas saya: "kuliahnya ga jadi bro"

40.000 tadi? Aaahhh uangku.
Tapi saya lanjutkan saja langkah menuju kampus, tanggung. Walau tak ada kuliah, toh pasti ada teman-temanku.
Kosan sudah pengap, cari obrolan saja, biar ga kosong.

Orgil II

0 komentar

Aku lupa ingat
Aku luap tangis
Aku pula sinting
Aku siul nista
Aku sunat ilusi
Aku sita usil
Aku tali Susi

Hehehee...

Tengkuk

0 komentar

Elok mu menyeruak berarak
Sentak kuat ku teriak serak
Sorak beriak hati tertolak
Terbahak rindu sepihak

Freedom?

0 komentar

You got my soul
Grasped by those eyes of yours

Hold it like the sky holds the cloud
Squeeze it like the cloud squirts the rain
It ain’t water but rain of blood
Each drop hits the land in pain

I envy the birds that soar
Chirp me their mocking roars
If I have wings
Why am I always walking?

Forgive me for I have sinned
Please mercy my wrong doing
I could hardly ever grin
If it’s my wings that you’re holding

O’ Lord, I have no choice
But to slay those very eyes of hers

Don't You Know?

0 komentar

1

I seek for red
On my blood that often shed
I seek for yellow
In a twilight that seems so slow
I seek for green
In a very vast, barren field
I seek for blue
In my vain that has no clue
I seek for purple
As I feel alone in a huddle

2
O’ dear, O’ my treasure
Don’t you know
That I still waiting on the corner
Of the rainbow?

Orgil

0 komentar

Engkau ilmuwan dalam berkhayal
Engkaulah sang durjana pun sang gembira
Tawa mu menyeruak ramai angkasa
Nyanyian mu pusat mata-mata, telinga
Namun duka seringkali tusuk mereka
Tiap jiwa yang denganmu bersua

Ikhlasmu yang tiada dua
Hanyut bagai kayu terlupa tanah
Beban hidup dulu membatu
Menguap bagai air terlupa awan
Namun hina seringkali hujam mereka
Tiap jiwa yang denganmu bersua

Namun Engkaulah sang Raja
Tuk kami bocah-bocah belia, oh Raja
Tiada berharap jadi seperti Engkau, Raja
Hanya sorak sorai lantuni hadirmu mu, oh Raja
Pun petualanganmu nan liar itu, sekali lagi, Raja
“ooo~rang~gi~laaaa~!”

Bapa dan Kakak

0 komentar

Sudah jam 2 pagi, tapi Amir masih anteng duduk di depan komputer nya, pandangannya fokus, lurus. Sesekali matanya bergerak seperti memburu suatu objek di layar monitornya, dengan bersamaan, tangannya yang menggenggam mouse pun bergerak, ke kiri, ke kanan, ke depan, dan ke belakang, tak menentu. Setelah itu akan terdengar suara tembakan, sesekali suara ledakan, diiringi desing-desing pesawat, juga suara orang yang berbicara lewat radio. Tetapi, diantara semua suara itu selalu ada satu suara yang paling tidak asing lagi di telinga Amir setiap pagi, ketika ia sedang begitu, itu suara ibunya.

“Amir, sudah maen game nya nak, pagi kan kamu sekola.” Suara ibunya yang lembut dari balik pintu memaksa Amir mengecilkan volume suara game-nya yang bising.

“Iya bu, tapi tanggung nih sebentar lagi, kan besok masuk jam sembilan bu!” Jawab Amir dengan setengah berteriak.

“Kamu bukannya mau kerja kelompok sama si Khopid jam tujuh?” Kata ibunya, masih dengan lembut dan dibalik pintu.

“Astagfirullah! Amir lupa, baik bu, Amir mau tidur sekarang.” Jawab Amir, panik.

“Jangan lupa baca du’a sebelum tidur”. Itulah nasihat ibunya, juga akhir dari percakapan, karena Amir tidak menjawab.

Dengan panik Amir mematikan komputer, lalu tanpa pikir ia hempaskan badannya ke kasur, tapi ia tak langsung tidur. Amir menerawang ke langit-langit kamarnya, Kenikmatannya telah habis, kenikmatan bermain game Call of Duty telah habis. Sebenarnya dari kecil Amir bercita-cita menjadi tentara, dengan bermain game tadi, setidaknya secuil dari cita-citanya menjadi kenyataan.

Amir masih menatap langit-langit, rona kenikmatan dan kepuasan saat bermain game yang tersirat di wajahnya perlahan, entah mengapa, menghilang, dan tergantikan oleh rona-rona pahit yang menyatu menjadi kesuraman di wajahnya. Kini, ia tatapi satu-satu pernak-pernik, patung mainan, poster, dan pakaian yang mengisi seluruh isi kamarnya, semuanya serba tentara. Saat itu juga mata Amir mulai berkaca-kaca, mulutnya tak bersuara, tapi bergetar, getir. Seketika teringat permintaan terakhir mendiang Bapanya.

“Mir, kamu jangan jadi tentara ya nak, Bapa tak mau kamu bernasib sama seperti Kakak mu.” Begitulah permintaan Bapa Amir saat Amir masih kecil, tepat di depan makam almarhum Kakaknya.
Kakak Amir adalah seorang perwira muda yang juga mati muda pada saat baku tembak dengan kelompok pemberontak di Aceh. Semasa hidupnya, Kakak Amir adalah seseorang yang paling Amir kagumi, ia gagah, pemberani, jago tembak, pikirnya. Nanti kalau sudah besar, ia ingin seperti Kakaknya, jadi tentara dan membela Negara.

Kini Amir tertelungkup, wajahnya tepat menempel diatas bantal, tangannya menggenggam kuat kedua sudut kain bantal seperti tertarik dan bakal sobek. Getaran di bibirnya menyebar ke seluruh tubuh, tubuh Amir bergetar, seperti marah, tapi menangis dan tak bersuara. Teringat sepulang dari pemakaman Kakak, Bapa kecelakaan. Motor yang Bapa dan Amir naiki menabrak mobil sedan. Malangnya Bapa, setelah menabrak mobil kemudian dihantam mini bus dari belakang, sedangkan Amir terpental ke trotoar lalu pingsan. Bapa Amir meninggal di perjalanan menuju rumah sakit.


Andai Bapa masih ada, ingin ia sampaikan, ingin ia curahkan betapa besar keinginan dan hasratnya tuk jadi tentara. Kini Amir hanya bisa menangis, kelulusan sudah di depan mata, sekarang ia harus sudah menentukan mau dilanjutkan kemana masa depan nya yang berharga. Memilih Kakak atau Bapa.

Tuhan itu Tak Ada

0 komentar

Tuhan itu tak ada
Kala ku pandang indah matanya

Seraya berkaca dalam satu peristiwa:

Di matamu ku tatap potret sendu diriku
Karam tersiram hujan
Sungguh malang...
Ini pertukaran pandang kan di dalam ruang
Tuhan sial tak sanggup teduhi hujan
Dalam kedua cermin nan berlian

Dan untuk ku sebuah lamunan:

Tuhan itu tak ada
Kala ku pandang indah matanya

Aku dipandang bagai bubuk rangginang, namun tetap kau indah, sumpah!

Cuma Ingin

0 komentar

Aku ingin kau ingin mati
Aku mau kau mau tau
Jerit manusia dibalik lekuk dua helai bibirmu
Demi Tuhan, aku ingin kau ingin mati
Dan bukan salahku bila itu terjadi

dari rasa kesal dan kekecewaan

Death

2 komentar

I am an obscure silence
With a timeless presence
I am beyond your science

I’ve been living for thousand years
I’ve seen million of faces with diverse colors
Eliminated them like a soundless
Calamity in the midst of darkness

Suffering is your nature, sorrow is your feature
Blood and agony squeeze on our encounter
But you won’t feel the depth of your anger
While to be tortured, with my joyful glower

I am a seraph without wings
I am the damned thing
I am the song that you can’t sing

Ditulis saat membuat cerpen The Diary of Death yang sampe sekarang belum jadi

Aku Kau

0 komentar

Aku kau, hela hembus udara,
Kosong kita buat gaduh,
gaduh bersama, gaduh mengudara
Kita sama

Aku kau tersentuh hangat kasih ibu
Mengarifi arti di balik tiap pori
Jari-jari dan tangan surgawi
Kita sama lagi

Aku kau pandang bumi langit yang sama
Biarkan menggurui aku kau, kita
Ada hasil walau kecil me-nihil
Kita sama, lagi dan lagi

Aku kau bersama menyimak makna
Di semu udara, Di hijau tanah, Di biru langit,
Bahkan di balik badan-badan yang berhimpit rumit
Kita sama kembali

Aku, kau, kita.
Bersama, sama, tapi tetap saja iri
Iri pada perbedaan, yang tak pernah kesepian.

Kita sama?

Empat Baris Tentang Pagi dan Kamu

0 komentar

Langit pagi saksi hangat senyumu, matahari pun malu
Langit pagi saksi kaku aku seperti lugu, kini, aku malu
Langit pagi pun saksi selembar kenangan sisip satu bait memori
Langit pagi entah datang kembali rangkai buku perjalanan bersampul hati

Masih tentang kamu, headline penghias topik hati hari ini
Tentang kamu, penanam bibit kenangan, entah tumbuh atau hanya membatu
Percayalah, ingin hati slalu menyiangi dalam butir hujan serta lekuk pelangi
Kukuh benderang peluk bulan dan mentari

Puisi Kukila

0 komentar

Biar ku ceritakan pada kalian tentang sebuah kisah cinta
Kisah cinta yg sangat biasa, tentang dua orang yg biasa saja
Dalam pertemuan biasa ,dengan cara yg  biasa , dan di kehidupannya yang teramat biasa. . .
Bukan tak sudi ku buat nya jadi istimewa, hanya saja aku muak pada fiksi dengan begitu cantiknya setiap putri diceritakan dalam sebuah stanza, atau penggambaran para dewa yg membuat dunia seolah tampak seperti bola kecil yang dilempar tuan pada anjingnya.
kalian berdecak kagum, ada sebagian yg merana dan lainnya larut seperti cairan basa yg disirami api, hilang begitu saja, tak terasa panasnya, tak berguna
“camkan sayang, tiada hal yang lebih baik dalam kehidupan manapun selain cinta, bahkan mungkin ketika kau mati, dalam bayangku, surga adalah tempat dimana cinta tak pernah pudar, setiap jiwa yg ada disana dibekali dengan organ tubuh bernama cinta, seperti jantung pada hidup.
Tak ada rasa lainnya, kita tak perlu menerka nerka apa yg orang lain pikirkan tentang kita, karena itu penyakit yg paling berbahaya, bukan kah begitu ?
Dalam hidup kau terlahir, jika dilahirkan oleh orang kaya raya, bonusnya ya rasa hormat dan manut mereka, beranjak dewasa kau bisa pakai uang bapa mu, hidupmu disini bisa lebih mudah, tapi itu nerakanya, kau akan teramat sangat peduli pandangan mereka terhadapmu, kau akan dibebani tentang pendidikanmu, baju yg kau pakai, pekerjaan, teman bahkan cintamu
Jika ibumu orang melarat, hidupmu akan sangat bebas, kau bisa mulai dari manapun, kau bisa sekolah jika itu maumu, mencintai siapapun, apapun tapi hanya dalam anganmu, karena bila tak jadi orang jahat mungkin butuh waktu buatmu untuk menggenggamnya ditambah bonus pandangan mereka yg memperlakukanmu seperti sampah atau bahkan lebih buruk”
Sepenggal cucuran hasil riuh debatnya dengan dunia
Kami bertemu saat itu, siang itu
Matahari teramat sangat panas samapai melunglaikanku roboh terduduk, mengeringkanku sampai ke titik inspirasi, ah hidup terasa hambar, air tak menghilangkan dahaga, gula tak berasa, benar benar kosong yg berbentuk.
Dia, berjalan menuruni tangga tepat didepanku, ada nada kecil yg dihembuskan angin saat langkahnya terhenti, seperti mencoba membisikan kesejukan, tapi apa ? mengapa ?
Tak pernah bisa kuhapus ingatan itu, walau sepertinya kubenturkan kepalaku, atau kupenggal leherku, ingatan nya ter ektrasi jadi sebuah pil, yang sangat manis terasa dan bila ku emut makin menjadi rasa manisnya, tak pernah habis, tak pernah membosankan
Tatapan yg berkata sapaan, lekuk wajah se menarik permen loli yg dilihat anak kecil kala diajak ibunya ke pasar, simpul bibir sesegar mandi di danau jernih setelah lama berjibaku dengan hutan dan baju basah dengan keringat.
Semua teramat jelas, pandanganku yg kian kabur jadi berwarna, senikmat mengisap sabu berkualitas yg kau temukan dipinggir jalan.
Gerak kian pasti, tubuh bagai botol air dingin yang tersimpan rapat dalam etalase lemari es berkaca, dengan tetesan tetesan air disekelilingnya, penuh, menyegarkan.
“Aku KUKILA
Burung yg bertengger diatas pohon tertinggi” tukasnya

Aku terdiam menahan denyut dan gagap, ingin rasanya meledak.

ditulis oleh Fajar Taufiq Nugraha

Tukang Cukur dan Algojo (Just Lather, That's All)

0 komentar

Sekedar share cerpen luar yang disadur ke bahasa indonesia, iseng-iseng saya lagi baca kumpulan cerpen-cerpen luar dan nemu cerpen satu ini yang menurut saya punya konflik yang menarik dilanjutkan dengan akhir yang menggelitik. Kemelut hati dan kegelisahan seorang tukang cukur yang merupakan anggota revolusioner di Kolombia (pemberontak) yang didatangi oleh seorang kapten dari kubu lawan. Kapten itu datang bukan ingin membunuhnya, melainkan untuk mencukur janggutnya yang berumur empat hari.


Tukang Cukur dan Algojo
Oleh Hernando Tellez

Ia tak berkata apa‑apa ketika masuk. Saat itu aku sedang mengasah pisau‑pisau cukur terbaikku pada kulit pengasah. Ketika mengenalinya aku mulai gemetar. Tapi ia tidak memperhatikan. Untuk menyembunyikan perasaanku, aku meneruskan mengasah sebilah pisau. Kemudian aku tes pada daging di ibu jariku lalu mengarahkannya ke cahaya.

Saat itu ia telah melepas ikat pinggang bertahtakan peluru di mana sarung pistolnya tergantung. Lalu disangkutkannya pada sangkutan yang tersedia di dinding dan meletakkan topi tentaranya pula di atasnya. Kemudian ia pun berbalik ke arahku sambil mengen­dorkan dasinya dan berkata, “Panas sekali. Tolong cukur aku”. Iapun duduk di kursi.

Kuperhatikan ia mempunyai janggut berumur sekitar empat hari. Empat hari yang dihabiskan dalam ekspedisi terbarunya untuk memburu pejuang-pejuang kami. Wajahnya kelihatan memerah karena terbakar matahari. Dengan cermat aku mulai menyiapkan sabun. Kuiris beberapa potongan kecil‑kecil dan kumasukkan ke dalam mangkok kemudian mencampurnya dengan sedikit air hangat lalu mengaduknya dengan setangkai kuas. Busapun segera muncul. “Para anggota regu yang lain agaknya juga sudah jenggotan sebanyak ini”. Aku meneruskan mengaduk busa.

“Tapi kerja kami tidak sia‑sia. Kami menangkap banyak. Kami bawa pulang sebagian yang sudah mati dan lainnya yang masih hidup. Tapi sebentar lagi mereka semua juga akan mampus.”

“Berapa banyak yang Anda tangkap?” tanyaku.

“Empat belas. Kami harus masuk agak jauh ke dalam hutan untuk menemukan mereka. Tapi kami akan mendapatkan mereka semua. Tak seorangpun dari mereka yang keluar akan hidup, tak seorang­pun.”

Ia menyandarkan punggungnya ke kursi ketika melihatku memegang kuas pemoles busa. Aku masih harus menyelimutinya. Tak dapat disangkal aku memang bingung. Kukeluarkan selimut dari laci dan memasangnya di leher tamuku. Agaknya ia tidak akan berhenti bicara. Mungkin ia berpikir aku bersimpati pada pihaknya.

“Penduduk kota ini seharusnya sudah mendapat pelajaran dari apa yang kami lakukan tempo hari,” katanya.

“Ya,” jawabku sambil mengikat simpul di lehernya yang hitam dan berkeringat.

“Pertunjukkan yang menarik, kan?”

“Sangat bagus,” timpalku sambil beralih kembali kepada kuas tadi. Pria itu memejamkan matanya dalam posisi kelelahan dan duduk menanti usapan busa sabun yang dingin. Belum pernah aku berada sedekat ini dengannya. Pada hari itu, ketika ia memerin­tahkan seluruh penduduk kota berbaris di halaman belakang sekolah untuk menyaksikan empat orang pemberontak yang digantung di sana, aku berhadapan muka dengannya pada suatu jarak. Namun pemandangan dari tubuh‑tubuh yang dibuntungi itu mengalihkan perhatianku dari wajah orang yang memerintahkan itu semua, wajah yang sebentar lagi akan berada di tanganku ini.

Sesungguhnya wajahnya tidaklah jelek. Dan jenggot yang membuatnya tampak sedikit lebih tua dari usia sesungguhnya ini sama sekali tidak membuatnya kelihatan buruk. Namanya adalah Torres. Kapten Torres. Seorang yang sinting, sebab siapa lagi yang punya pikiran untuk menggantung para pemberontak dalam keadaan bugil dan kemudian menjadikan beberapa bagian tertentu dari tubuh mereka sebagai sasaran latihan tembak?

Aku mulai memoleskan lapisan pertama dari busa sabun. Dengan mata terpejam ia melanjutkan, “Dengan mudah aku bisa jatuh tertidur,” katanya, “tapi ada banyak pekerjaan yang harus dilaku­kan sore ini.”

Aku berhenti memoles dan bertanya dengan lagak seakan‑akan tidak begitu tertarik, “Regu tembak?”

“Semacam itu, tapi sedikit lebih pelan.”

Aku melanjutkan memolesi busa di jenggotnya. Kedua tanganku mulai gemetar lagi. Pria itu mungkin tidak tahu dan inilah keun­tunganku. Namun sesungguhnya aku lebih suka kalau dia tidak datang. Rasanya seperti banyak dari faksi kami yang melihatnya waktu masuk tadi. Dan seorang musuh di bawah atap seseorang bisa menimbulkan masalah.

Aku mesti mencukur jenggot itu seperti yang lainnya, dengan penuh kecermatan dan kelembutan, seperti kepada tamu‑tamu yang lain, berusaha keras memperhatikan agar tak satu pori‑poripun menitikkan darah. Memperhatikan secara cermat agar tumpukan rambut yang kecil‑kecil jangan sampai membuat mata pisau kesasar. Memastikan bahwa pada akhirnya nanti kulitnya akan bersih, lembut, dan sehat, sehingga bila kugesekkan punggung tanganku di atasnya aku tidak akan merasakan sehelai rambutpun.

Ya, diam‑diam aku memang seorang pemberontak, tapi aku juga seorang tukang cukur yang cermat dan bangga akan ketepatan profe­siku. Dan jenggot berumur empat hari ini adalah tantangan yang tak terduga.

Kuambil sebilah pisau cukur, kutarik dari sarung pelin­dungnya sehingga mata pisaunya berada di luar dan memulai tugasku dari salah satu sisi pipinya terus menurun ke bawah. Pisau cukur itu menjalankan tugasnya dengan baik. Jenggotnya kaku dan keras, tidak terlalu panjang tapi tebal. Sedikit demi sedikit permukaan kulitnya muncul.

Pisau cukur itu berjalan terus dan mengeluarkan suara yang khas saat busa dan potongan rambut yang kecil‑kecil menumpuk di sepanjang mata pisaunya. Aku berhenti sejenak membersihkannya, lalu mengambil kulit pengasah untuk menajamkannya lagi, karena aku adalah tukang cukur yang melakukan pekerjaan dengan cermat. Pria yang tadi terpejam itu kini membuka matanya, menggerak­kan salah satu tangannya dari bawah selimut, merasakan bagian di wajahnya yang baru saja bersih dari busa sabun dan berkata:

“Datanglah ke sekolah hari ini pukul enam.”

“Seperti yang dulu itu?” tanyaku cemas.

“Lebih baik lagi,” jawabnya.

“Apa yang Anda rencanakan?”

“Saat ini aku belum tahu. Tapi kami akan bersenang‑senang.”

Sekali lagi ia menyandarkan punggung dan memejamkan mata‑ nya. Aku mendekatinya dengan pisau cukur teracung.

“Apa Anda punya rencana untuk menghukum mereka semua?” tanyaku agak takut.

“Semuanya.”

Sabun di wajahnya sedang mengering. Aku harus cepat. Di cermin aku melihat ke jalanan. Semuanya seperti biasa, toko penjual bahan makanan dengan dua atau tiga pembeli yang ada di sana. Kemudian aku melihat jam: pukul dua siang lebih dua puluh menit.

Pisau cukur terus berjalan ke bawah. Kali ini dari belahan pipi yang satu lagi terus ke bawahnya. Jenggot biru yang tebal. Seharusnya dipeliharanya saja seperti yang dilakukan oleh bebera­3 a orang penyair atau pendeta. Sangat cocok untuknya. Orang banyak tidak akan mengenali. Hal itu akan sangat menguntungkan baginya, pikirku, sementara sedang mengerjakan bagian leher dengan lancar. Di bagian ini pisau cukur harus dikendalikan dengan ahli karena rambut di situ meskipun lebih lembut, tumbuh‑nya sedikit berputar‑putar. Bulu‑bulu yang keriting. Sebuah pori‑pori bisa lecet dan menitikkan darah. Seorang tukang cukur yang baik seperti aku ini bisa berbangga karena tidak akan membiarkan hal ini sampai terjadi pada seorang klien. Apalagi ini klien kelas satu.

Berapa banyak dari kami yang ditembak atas perintahnya? Berapa banyak pula dari kami yang dibuntungi atas perintahnya? Lebih baik tidak usah memikirkannya. Torres tidak tahu kalau aku adalah musuhnya. Dia tidak tahu, juga yang lainnya.

Ini adalah sedikit rahasia yang bocor, justru dengan demikian aku dapat memberitahu para revolusioner tentang apa yang sedang dikerjakan Torres di kota dan tentang apa yang direncana­kannya setiap kali melakukan safari memburu pemberontak. Namun dengan demikian juga akan sulit sekali untuk menjelaskan bahwa aku pernah menguasainya di tanganku dan melepaskannya dengan selamat, dalam keadaan hidup dan tercukur rapi.

Kini jenggotnya sudah hampir hilang seluruhnya. Ia kelihatan lebih muda, tidak terlalu tampak dibebani usia dibandingkan ketika baru datang tadi. Kukira hal ini selalu terjadi pada para pria yang mengunjungi kedai tukang cukur. Dengan sentuhan pisau cukurku, Torres menjadi muda lagi. Ia menjadi muda lagi karena aku adalah seorang tukang cukur yang handal, bahkan terhandal di kota ini kalau aku boleh bilang begitu.

Sedikit busa lagi di sini, di bawah dagunya, pada jakunnya, dan di atas pembuluh darah balik yang besar ini. Betapa panasnya! Torres pasti berkeringat banyak seperti aku. Tapi ia tidak takut. Ia seorang pria yang tenang, yang bahkan tidak memikirkan tentang apa yang akan dilakukannya nanti atas para tahanan itu sore ini.

Sementara di pihak lain aku dengan pisau cukur di tanganku, yang sedang berulang‑ulang mengerik kulit ini dan berusaha menja­ga agar darah tidak sampai keluar dari pori‑porinya, bahkan tidak dapat berpikir jernih. Sialan dia datang ke sini segala, karena aku seorang revolusioner dan bukan seorang pembunuh. Dan betapa mudahnya untuk membunuhnya. Bukankah memang pantas untuknya?

Tidak! Setan tengik! Tak seorangpun layak menyebabkan orang lain menjadi pembunuh. Apa untungnya bagimu? Tak ada. Orang‑orang lain akan mengikutinya dan terus begitu, yang pertama membunuh yang kedua dan mereka akan mendapat giliran yang berikutnya; dan akan berjalan terus seperti itu sampai semuanya menjadi lautan darah.

Aku bisa saja menggorok kerongkongan ini: kres! kres! Aku takkan memberinya kesempatan untuk mengaduh dan karena kedua matanya sedang terpejam ia takkan melihat kilauan mata pisau ini atau kilatan mataku.

Tapi aku gemetar seperti seorang pembunuh sungguhan. Dari lehernya nanti semburan darah akan tumpah di atas selimut, kursi, di kedua tanganku, di lantai. Aku harus menutup pintu. Dan darah itu akan mengalir perlahan di atas lantai: hangat, tak bisa dihilangkan, tak bisa dicegah, sampai turun ke jalan, seperti aliran anak sungai berwarna merah tua.

Aku yakin dengan satu tekanan yang kuat, satu irisan yang dalam, tidak akan terasa sakit. Dia tidak akan menderita. Tapi apa yang akan kulakukan terhadap tubuhnya? Ke mana aku harus menyembunyikannya? Aku nanti juga harus pergi meninggalkan se­muanya dan mengungsi sejauh‑jauhnya. Namun mereka akan terus mengejarku sampai berhasil.

“Pembunuh Kapten Torres. Ia menggorok kerongkongannya ketika sedang mencukurnya, seorang pengecut!”

Dan di pihak lain:
“Pembalas dendam kita semua. Nama yang akan selalu dikenang (dan di sini mereka akan menyebut namaku). Dia adalah seorang tukang cukur di kota ini. Tak ada yang menyangka ia berpihak pada kita.”

Lalu apa artinya semua ini? Pembunuh atau pahlawan? Nasibku tergantung pada ujung mata pisau ini. Aku dapat memutar tanganku sedikit lagi, menekankan pisau cukur ini agak keras dan membenam­kannya. Kulit itu akan tembus seperti sutera, seperti karet atau seperti kulit pengasah. Tak ada yang lebih lembut dibandingkan kulit manusia dan darah selalu berada di sana, siap muncrat. Mata pisau seperti ini tidak akan gagal. Ini milikku yang terbaik.

Tapi aku tidak ingin menjadi pembunuh, tidak Tuan. Kau datang padaku untuk cukur. Dan aku melaksanakan pekerjaanku secara terhormat. Aku tidak mau ada darah di tanganku. Cukup busa sabun saja. Kau seorang algojo sedangkan aku hanyalah seorang tukang cukur biasa. Tiap orang punya kedudukan masing‑masing pada tempatnya. Ya, pada tempatnya masing‑masing.

Sekarang dagunya telah tercukur bersih dan licin. Pria itu duduk tegak dan memandang ke cermin. Ia mengusapkan kedua belah telapak tangannya di atas kulitnya dan merasakannya segar, seper­ti baru.

“Terima kasih,” katanya. Ia beranjak ke gantungan untuk mengambil ikat pinggang, pistol, dan topinya. Aku pasti sangat pucat, bajuku basah kuyup. Torres telah selesai merapikan timangnya, meluruskan pistol di sarungnya dan setelah secara reflek mengelus rambutnya ke bawah, ia memakai topinya.

Kemudian dari dompetnya ia mengeluarkan beberapa keping uang logam untuk membayar jasa yang telah kuberikan. Selanjutnya ia melangkah menuju ke pintu. Di pintu keluar‑masuk ia berhenti sejenak, dan sambil berpaling kepadaku berkata:
“Mereka bilang kau akan membunuhku. Aku kemari untuk membuktikannya. Tapi membunuh itu tidak mudah. Kau bisa pegang kata‑kataku ini.”
Dan iapun meneruskan langkahnya menuju ke jalan.

Alih bahasa oleh Syafruddin Hasani

3 Baris 3 Bait Tentang Lidah

0 komentar

Ku kecap manis sekarang
Ku kecap asam kemudian
Ku kecap pahit kemudian

Kau buat lupa manis sekarang
Kau buat parah pahit kemudian
Kau buat kekal pahit kemudian

Hingga lidah ini tak lagi kenal
Hingga lidah ini tak lagi ingat
Rasa manis yang dulu kau bawa

Hidup, Teka-teki, Labirin, itu Jalang

0 komentar

Katanya, hidup ibarat teka-teki
Katanya, hidup itu pilihan
Nyatanya, Teka-teki itu hidup
Nyatanya, pilihan itu teka-teki

Ku pikir hidup itu labirin
Ya, hidup itu labirin
Dengan berjuta koridor teka-teki
Berjuluk "Pilihan"

Aku pilih sekarang
Aku tersesat hilang
Hidup memang jalang
Kala kepalang timpang

Batu Bisu

0 komentar

Aku membatu bisu
Tak hirau angin berseteru
Tak peduli hewan berseru riuh
Aku hanya mau begitu
Bisu membatu, aku

Hati mu

0 komentar

Hitamnya terselubung mendung
Gelapnya termakan gelap malam
Pun kilau cahaya tak kuasa
Menghiasi sang muram masam
Hanya buat ia temaram lalu...
Hilang

Di Suatu Tempat yang Tak Pernah Ku Kenal (translated)

0 komentar

t Oleh E.E Cummings

Di suatu tempat yang tak pernah ku kenal,
ada bahagia yang belum pernah kurasa
matamu pancarkan sunyi:
dalam gestur lemah mu ada sesuatu lingkungiku,
yang tak bisa ku sentuh karena amat dekat

parasmu dengan mudah bayangiku kala ku pandangi mu
padahal aku tutup diriku sendiri layaknya jemari,
selalu urai kelopak kelopak hatiku seperti musim semi
(sentuh dengan mahir, misterius) memekar mawar pertamanya

atau bila kau berharap dekat dengan aku, aku dan
hidupku ini akan berakhir indah, tak terduga,
seperti saat bunga hati ini impikan
salju nan turun tiada terburu di segala penjuru;

apa yang kita rasa di dunia ini tak sama
kekuatan dari gagahnya kerapuhan yang kau miliki: teksturnya
memaksaku dengan warna Negara-nya,
sumbang kematian juga keabadian dalam setiap hela nafas-nya

(aku tak tahu apa yang buat dirimu membuka dan menutup:
hanya satu aku pahami
suara matamu lebih dalam dari mawar-mawar itu)
tak satupun, bahkan hujan, tak punya tangan sekecil itu.

Hinanya Kau dan Aku

0 komentar


Sayang…
Elok parasmu tak seelok perangai dan hatimu
Ayang…
Kilau sinarmu tak sanggup tembus mendung langit batinmu
Yang…
Senyum manismu, palsu, pelukis angan-angan indah nan semu
 Ay…
Kini kau tinggal sebatang duri di sela-sela gerak kalbu
Hinanya diri, masih kukuh memuja molek ragamu
.
Sepi kini, senyap kini, nista kini… diriku

Andi The Blues

1 komentar

Andi The Blues

“Like oak trees… ♫,
leaves andthe root.
Sadness tears

Tak terhitung berapa kali ia memutar lagu blues itu. Memang janggal, sepeninggal keluarganya yang mati, karena tikaman pisau dan peluru-peluru 3 ekor perampok, Andi jadi terobsesi akan lagu blues yang tak ku ketahui judul dan penyanyinya itu, ya, tapi aku tau kalau itu lagu blues dari melodi-melodi gitar dan beat nya, karena dulu  almarhum ayahku juga seorang pecinta musik blues. Tapi ini lain, aku lebih suka menggunakan kata “kegilaan” daripada “kesukaan”, atas apa yang dilakukan Andi selama ini, ia seperti  kecanduan, seakan-akan ia tak ingin berhenti menyimak lantunan-lantunan dan melodi-melodi gitar lagu blues tersebut. Aku baru menemui orang seperti Andi, aneh, fikirku.

Aku tak terlalu mengenal Andi, yang aku tau, ia seorang pemuda yang cuek, sempat aku menegur sapa kepada nya, tapi dibanding membalas sapaan yang ku ucapkan, ia lebih memilih untuk terus berjalan, melewatiku, tanpa sedetikpun memandangku, aku seperti dianggap angin olehnya. Ya, itu saja yang aku tau, karena aku baru pindah ke desa ini dua minggu yang lalu, 2 hari sebelum insiden berdarah itu terjadi. Rumahku tepat berada disebelah rumah Andi, hanya dibatasi oleh sebidang tanah kosong dan jajaran pagar beton putih yang kusam dan berlumut.

Irama-irama lagu blues itu kembali terdengar, kali ini, ku beranikan diri untuk menengoknya, untuk melihat keadaannya yang semakin hari semakin aneh, bagaimana tidak aneh? Sudah 7 hari ia tidak mematikan lagu itu, ditambah lagi, kemarin aku melihat ia sedang duduk diteras rumahnya, dengan tatapan kosong, dengan kelopak mata yang menghitam dan rambut acak-acakan, dan seperti biasa, sembari mendengarkan lagu blues asing itu. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, salamku pun ia hiraukan. Setelah mengumpulkan keberanian, kontan ku ketuk pintu rumahnya, tak ada jawaban, pintu nya pun terkunci. Dari sana, rasa penasaranku pun terus mejadi-jadi, tak kuasa menahan, aku pun menuju ke belakang rumahnya, siapa tahu pintu belakang tidak dikunci. Namun, sebelum sampai ke pintu belakang suasana aneh mulai terasa.

Dirumah bagian itulah lagu blues asing itu paling jelas terdengar, dan sial, dibagian rumah itu pula, bau aneh tercium olehku, ini seperti bau bangkai!.

Di depan aku melihat ada jendela berukuran sedang, langsung aku mendekati jendela itu, berharap bisa melihat ke dalam rumah dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan Andi, namun sayang, jendela itu tertutup gorden coklat, tanpa celah yang bisa ku intip. Disana keteguhan niat ku untuk menengok nya mulai goyah, tergantikan dengan rasa penasaran yang membumbung hingga menyentuh langit-langit di otak ku. Tanpa pikir panjang ku panjat jendela itu berharap bisa melihat sesuatu dibalik ventilasi udara.

Aku berhasil memanjat dan mengintip, namun tak ada sesuatu yang berarti yang ku lihat, hanya langit-langit ruangan dengan tembok berwarna hijau. Sempat aku mengutuk diriku akan ‘keboncelan’ ku sendiri, namun aku pantang menyerah. Ku coba tuk mengintip sembari lompat untuk mendapat pemandangan yang lebih baik, dan juga mengobati rasa penasaran ku yang meracun.

Setelah lompat, sontak aku terjatuh, aku berhasil melihat ke dalam, namun, entah mengapa, dengkul ku tiba-tiba lemas. Ya entah mengapa, karena aku sebenarnya tak ingin mengingat-ingatnya. Karena, dari situ lah aku sadar, anggapan-anggapanku tentangnya selama ini adalah nol besar, juga aku tahu alasan ia tak mematikan atau mengganti lagu itu, tapi aku tak tahu mengapa ia memilih lagu blues itu untuk menemani nya pergi. Ya sungguh, ia telah pergi. Entah siapa atau apa yang ku temui kemarin, yang jelas Andi sudah mati jauh sebelum hari kemarin.

Kepala Andi yang tergantung pada seutas tali tambang, dengan leher sebagai penopang, membusuk biru di dalam ruangan hijau ditemani lagu blues asing yang terulang-ulang itu. Ya, Itulah semua yang terekam dalam otak malang ku ini. 

Bayu Baharul
1 Juni 2013

Televisi Pun Tenang

0 komentar

Sebuah televisi menyala dikeheningan
Memecah jalur otak yang rindui ketenangan
Ia ingin lepas dari berita-berita dusta
Juga gosip-gosip sialan
Bagai debu semua bertebaran
Seakan terulang di tiap detak jarum jam

Televisi pun merasa bodoh dibuatnya
Hingga tak mampu berilustrasi
Hingga tak mampu bersuara
Hingga tak mampu berkilah
Hingga ia hijrah
Ke Tempat Pembuangan Sampah

Lebih baik kan?

Bandung
29 Mei 2013


Matilah!

1 komentar

Disela-sela hati nan hampa
Terselip sepucuk do'a
Ia bersabda
"Matilah!"

Matilah benci!
Mengendap di sel inti
Matilah!
Perkaku aksi

Matilah dendam!
Asah jiwa murka
Matilah!
Sang bom kala

Matilah dengki!
Racuni nurani
Matilah!
Hinai diri

Matilah!
Mati...
Ma...
Ti...

Dipenghujung nya
Ia sematkan sepenggal kata
Harapan nan berbunga-bunga
"Amin"

Do'a ku untuk ku

Terbanglah Dara

0 komentar

Sesaat sebelum Dara meninggal
Ia berkata:

"Aku ingin terbang
Menanti terbitnya
Sang surya
Membaur
Menyatu
Serupa sinar nan hangat

Maka
Kenanglah aku
Kala terang
Rindui aku
Kala gelita"


Untuk teman-temanku, para almarhum.

Bandung 28 Mei 2013

02.53

0 komentar

Mata ini tak sanggup lagi memandang
Tersiksa... meronta... menggeram
Ingin terpejam
Kedalam lorong serba hitam

Kelam...
Namun itu yang ku inginkan

Tersimpan satu harapan
Mengendap dalam gelap
Seberkas cahaya
Itu... rinduku padamu

Datanglah...
Kesini...
Ke tempat ini...
Mimpiku

28 Mei 2013

Ini Cinta Bukan?

0 komentar

Terbelalak ia
Melihat kepolosan nya
Seperti kertas..
Tidak..
Seperti air bening
Atau bahkan udara

Dalam putih kertas ia catatkan
Kata dengan tinta cinta berona
Dalam bening air ia taburi
Kasih laksana pelangi
Dalam kekosongan
Ia layangkan pesawat kertas
Simbol kasih nya
Tak satu melainkan seribu

Namun
Kertas tetap putih
Air tetap bening
Dan udara pun tetap sepi

Hatinya meronta...

Kasihnya
Bukan tanpa pengorbanan
Cintanya
Bukan tanpa penantian
Keluh kesah nya
Acapkali ia asingkan

Sekarang..

Buntu
Yang ia rasakan
Buntu
Yang ia rasakan
Kasih bukan tanpa balasan
Hanya harapan
Tak terpuaskan

Cinta selayaknya berwarna
Bukan?

28 Mei 2013
Untuk temanku si hitam dan si putih XD