Beribu malu menerpa taman kalbu
Menjadikannya kelam menebar
Mawar yang tiada pernah merekah
Resah kian menjalar, rindu kian mengakar
Indahkah?
Beribu malu menerpa taman kalbu
Menjadikannya kelam menebar
Mawar yang tiada pernah merekah
Resah kian menjalar, rindu kian mengakar
Indahkah?
Gila, ga ada kerjaan tapi tulisan ga beres-beres, tugas ga kelar-kelar.
Kemarin malam saya baca Hujan Bulan Juni nya Pak Sapardi Djoko Damono sampai larut dan ketiduran. Habisnya asik sih. Diksi nya sederhana, isi nya pun gampang divisualisasikan di otak pembaca. Puisi-puisinya begitu hidup, dengan kata lain, mengajak pembaca berpetualang seru dalam ruang penafsiran di otak mereka. Tapi ada beberapa puisi yang, bagi saya, sukar dimengerti, walau bisa diimajinasikan dalam kepala. Misalnya puisi yang berjudul "Tengah Hari".
Puisinya bagus-bagus pokoknya (kalau ga bagus ga akan saya beli dong, atau mungkin ga akan pernah dibukukan sebelumnya -_-) cerminan dari kreatifnya imajinasi Pak Sapardi pun kontemplasi beliau yang begitu luas dan mendalam. Salah satu contoh pujangga paling berpengaruh di Indonesia.
Disini saya ingin membagikan dua puisi Pak Sapardi dari buku nya Hujan Bulan Juni
TANGAN WAKTU
selalu terulur ia lewat jendela
yang panjang dan menakutkan
selagi engkau bekerja, atau mimpi pun
tanpa berkata suatu apa
bila saja kau tanya: mau apa
berarti terlalu jauh kau sudah terbawa
sebelum sungguh menjadi sadar
bahwa sudah terlanjur terlantar
belum pernah ia minta izin
memutar jarum-jarum jam tua
yang segera tergesa-gesa saja berdetak
tanpa menoleh walau kau seru
selalu terulur ia lewat jendela
yang makin keras dalam pengalaman
mengarah padamu tambah tak tahu
memegang leher bajumu
(Damono, 1959)
AKU INGIN
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(Damono, 1989)
Oiya, buku kumpulan puisi "Hujan Bulan Juni" nya Pak Sapardi Djoko Damono bisa didapat di toko buku Gramedia dengan harga Rp. 68.000
Mencintalah sebelum hujan hujam tanah basah
Mengubur dirinya atau lenyap dalam sungai yang tak kenal muara
Membencilah seperti abu lupa pada nyala api dulu
Yang kukuh tak tersulut walau panas lagi merenggut
Bersabarlah bak senja yang tak berkeluh pada singkat nya masa
Yang percaya pada hari tuk melukis nya kembali
Bekerjalah seperti jantung hidupi mu dalam alunan tiada jemu
Yang detak nya tegar mengabdi walau seringkali kau khianati
Rehatlah dalam cahaya kejayaan bukan dalam ketidakpastian
Yang taringnya siap terkam tubuh lengahmu dari gelapnya waktu
Kau menangis dalam gelap
Biar tiada yang tau, kau harap
Namun
Bagaimana bisa mataku cairkan pendar di indah matamu?
Bagaimana bisa jemariku seka kesedihan di lembut pipimu?
Bagaimana bisa pundak ku tersapa kilau hitam rambutmu?
Bagaimana bisa lidahku padamkan api di hati kecil mu?
Bagaimana bisa telingaku dimanja oleh suara merdu mu, bahkan ketika kau menangis?
Dalam gelap kau menangis
Sungguh, kau egois!
Diantara jarak ku kagumi pagi
yang sabar menanti embun terjun
di tepi pucuk dedaun
Diantara jarak ku kagumi malam
yang diam-diam lukis impian
di sela sunyi temaram
Diantara jarak ku kagumi kau
yang elok nya tak sanggup ku talar
dalam diam dan gusar
Cukup gagah kah diri
Tuk mengagumi
Diantara jarak
Tanpa durasi?
Padamu tak ku taruh harapan berlebih
Namun, apa kau tau?:
Jemariku renta; tiada kuasa sentuh bayangmu
Suaraku hampa; tiada kuasa sapa dengarmu
Pandangku semu; tiada kuasa toleh parasmu
Aku bagai dikutuk menjadi batu,
Kian kelabu, kian membiru
sering aku dirajam sang waktu
yang enggan membeku
demi perjamuan antara kau dan aku
Tatkala sang Waktu berbudi kepadaku
Sudikah kau buka pintu tuk ketiadakuasaanku?
Atau...
Kuasa kah aku tuk mengetuknya?
I'm crawling out from my peaceful darkness
Feeling so lazy and moving so slowly
There are voices calling me vigorously
Dragging my bones, my muscles, my veins
There's a party!
"Come on join man!"
I know that voice
The one of those voices, so annoying
Should I join the party?
So annoying, so annoying!
Lights beaming, music beating
As I anxiously entering
A house which is sparkling
Those people, dancing, jumping
So annoying, so annoying!
"Hey man try this wine!"
A stranger offering me a cup of wine
It's red wine... o wait, or is it blood?
I'm feeling insane as I'm holding the cup
So annoying I swear to god
I'm drinking the wine
As I'm upset but not to whine
I scrutinize those faces
Those maddening, happy faces
Before my eyes caught something so appealing
Candle? Why there's a candle in a party?
A candle that so obvious among this huddle
Lightened by the moonlight
Through a lonely skylight
That candle, this wine...
Ignition! So pleasing so pleasing!
I poured the wine into the fire
That miraculous revelation
Burnt them like bacon
Bodies were dancing and jumping in combustion
As lights beaming, music beating
O so pleasing so pleasing!
I'm crawling back toward my peaceful darkness
Feeling so lazy and moving so slowly
There's a voice calling me vigorously
As I see 'myself' sitting in the dark, sleepy and lazily
"Come on join man!"
There's a party!
13.00
Di perjalanan ke kampus, saya melihat tiga anak kecil bermain; loncat-loncat, terkekeh-kekeh, di tengah jalan komplek, dengan ibunya, atau entah siapa, sebagai penjaga mereka. Dulu, saya juga seperti mereka; bermain di lapangan atau di sekola tempat mama mengajar, bersama teman-teman yang sebagian tidak saya ingat lagi, lupa. Sambil dijaga mama atau disuapi, ah senangnya.
Sekarang... ah saya malas menceritakan saya yang "sekarang".
13.10
Saya beli kamus. Saya takut dicoret di tangan sama pa Budi kalau ketahuan tak bawa atau tak punya.
40.000 rupiah, habis sudah.
13.20
Ada pesan singkat dari teman sekelas saya: "kuliahnya ga jadi bro"
40.000 tadi? Aaahhh uangku.
Tapi saya lanjutkan saja langkah menuju kampus, tanggung. Walau tak ada kuliah, toh pasti ada teman-temanku.
Kosan sudah pengap, cari obrolan saja, biar ga kosong.
Aku lupa ingat
Aku luap tangis
Aku pula sinting
Aku siul nista
Aku sunat ilusi
Aku sita usil
Aku tali Susi
Hehehee...
Elok mu menyeruak berarak
Sentak kuat ku teriak serak
Sorak beriak hati tertolak
Terbahak rindu sepihak
1
Tuhan itu tak ada
Kala ku pandang indah matanya
Seraya berkaca dalam satu peristiwa:
Di matamu ku tatap potret sendu diriku
Karam tersiram hujan
Sungguh malang...
Ini pertukaran pandang kan di dalam ruang
Tuhan sial tak sanggup teduhi hujan
Dalam kedua cermin nan berlian
Dan untuk ku sebuah lamunan:
Tuhan itu tak ada
Kala ku pandang indah matanya
Aku dipandang bagai bubuk rangginang, namun tetap kau indah, sumpah!
Aku ingin kau ingin mati
Aku mau kau mau tau
Jerit manusia dibalik lekuk dua helai bibirmu
Demi Tuhan, aku ingin kau ingin mati
Dan bukan salahku bila itu terjadi
dari rasa kesal dan kekecewaan
Ku kecap manis sekarang
Ku kecap asam kemudian
Ku kecap pahit kemudian
Kau buat lupa manis sekarang
Kau buat parah pahit kemudian
Kau buat kekal pahit kemudian
Hingga lidah ini tak lagi kenal
Hingga lidah ini tak lagi ingat
Rasa manis yang dulu kau bawa
Katanya, hidup ibarat teka-teki
Katanya, hidup itu pilihan
Nyatanya, Teka-teki itu hidup
Nyatanya, pilihan itu teka-teki
Ku pikir hidup itu labirin
Ya, hidup itu labirin
Dengan berjuta koridor teka-teki
Berjuluk "Pilihan"
Aku pilih sekarang
Aku tersesat hilang
Hidup memang jalang
Kala kepalang timpang
Aku membatu bisu
Tak hirau angin berseteru
Tak peduli hewan berseru riuh
Aku hanya mau begitu
Bisu membatu, aku
Hitamnya terselubung mendung
Gelapnya termakan gelap malam
Pun kilau cahaya tak kuasa
Menghiasi sang muram masam
Hanya buat ia temaram lalu...
Hilang
Sebuah televisi menyala dikeheningan
Memecah jalur otak yang rindui ketenangan
Ia ingin lepas dari berita-berita dusta
Juga gosip-gosip sialan
Bagai debu semua bertebaran
Seakan terulang di tiap detak jarum jam
Televisi pun merasa bodoh dibuatnya
Hingga tak mampu berilustrasi
Hingga tak mampu bersuara
Hingga tak mampu berkilah
Hingga ia hijrah
Ke Tempat Pembuangan Sampah
Lebih baik kan?
Bandung
29 Mei 2013
Disela-sela hati nan hampa
Terselip sepucuk do'a
Ia bersabda
"Matilah!"
Matilah benci!
Mengendap di sel inti
Matilah!
Perkaku aksi
Matilah dendam!
Asah jiwa murka
Matilah!
Sang bom kala
Matilah dengki!
Racuni nurani
Matilah!
Hinai diri
Matilah!
Mati...
Ma...
Ti...
Dipenghujung nya
Ia sematkan sepenggal kata
Harapan nan berbunga-bunga
"Amin"
Do'a ku untuk ku
Sesaat sebelum Dara meninggal
Ia berkata:
"Aku ingin terbang
Menanti terbitnya
Sang surya
Membaur
Menyatu
Serupa sinar nan hangat
Maka
Kenanglah aku
Kala terang
Rindui aku
Kala gelita"
Untuk teman-temanku, para almarhum.
Bandung 28 Mei 2013
Mata ini tak sanggup lagi memandang
Tersiksa... meronta... menggeram
Ingin terpejam
Kedalam lorong serba hitam
Kelam...
Namun itu yang ku inginkan
Tersimpan satu harapan
Mengendap dalam gelap
Seberkas cahaya
Itu... rinduku padamu
Datanglah...
Kesini...
Ke tempat ini...
Mimpiku
28 Mei 2013
Terbelalak ia
Melihat kepolosan nya
Seperti kertas..
Tidak..
Seperti air bening
Atau bahkan udara
Dalam putih kertas ia catatkan
Kata dengan tinta cinta berona
Dalam bening air ia taburi
Kasih laksana pelangi
Dalam kekosongan
Ia layangkan pesawat kertas
Simbol kasih nya
Tak satu melainkan seribu
Namun
Kertas tetap putih
Air tetap bening
Dan udara pun tetap sepi
Hatinya meronta...
Kasihnya
Bukan tanpa pengorbanan
Cintanya
Bukan tanpa penantian
Keluh kesah nya
Acapkali ia asingkan
Sekarang..
Buntu
Yang ia rasakan
Buntu
Yang ia rasakan
Kasih bukan tanpa balasan
Hanya harapan
Tak terpuaskan
Cinta selayaknya berwarna
Bukan?
28 Mei 2013
Untuk temanku si hitam dan si putih XD
Copyright © 2010 Ridiculously Honest
Icons & Wordpress Theme by N.Design | Blogger Templates by Blog and Web